A.
Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam mengandung pengertian memanfaatkan
barang atau uang untuk sementara
waktu. Dalam istilah Islam dinamakan ‘Āriyah
Pinjam-meminjam dalam kehidupan bermasyarakat
adalah hal yang biasa dilakukan. Hal itu terjadi karena manusia saling
membutuhkan untuk memenuhi hajat kehidupannya. Oleh karenanya Agama Islam
memberikan aturan-aturan dalam pelaksanaan pinjam-meminjam, baik dasar
hukumnya, syarat rukunnya, maupun hak dan kewajiban bagi orang yang terlibat
dalam pinjam meminjam.
1. Hukum
Pinjam Meminjam
Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 2 di atas menjelaskan
tentang perintah tolong menolong dalam urusan kebaikan. Salah satu bentuk
tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat adalah pinjammeminjam. Jadi pada
dasarnya hukum asal pinjam meminjam adalah Mubah (boleh).
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
Hukum pinjam meminjam bisa berubah sesuai
dengan alasan yang melatar belakanginya, yakni :
a.
Mubah, maknanya boleh, sesuai hukum asal dari pinjam-meminjam.
b.
Sunnah, maknanya ada nilai kebaikan apabila praktik pinjam meminjam
dilakukan. Misalnya: meminjami mobil untuk mengantar tetangga yang sedang sakit
ke Rumah Sakit.
c.
Wajib, maknanya ada keharusan dalam pelaksanaan pinjam meminjam, Sebagai
contoh : Dalam kondisi keuangan yang cukup bahkan berlebih, kita memberi
pinjaman uang kepada tetangga yang sangat membutuhkan untuk pengobatan. Pada
saat itu kondisi tetangga yang sakit harus di lakukan operasi untuk menolong
jiwanya.
d.
Haram, maknanya dihukumi dosa bila terjadi akad pinjam meminjam. Misalnya
: memberikan pinjaman kepada orang untuk berjudi, minum minuman keras, dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang agama.
2. Rukun
Pinjam Meminjam
Maksud rukun di sini adalah hal-hal yang harus
ada dalam pelaksanaan pinjam meminjam. Apabila tidak terpenuhi salah satu atau
beberapa rukunnya maka di anggap tidak sah. Rukun pinjam meminjam ada 5 Lima,
yaitu :
a.
Mu’’īr atau orang yang meminjami
b.
Musta’’īr atau orang yang meminjam
c.
Musta’ār atau barang yang di pinjam
d. Batas
waktu
e. Ijab
Qabul atau ucapan / keterangan dari kedua belah pihak.
3.
Syarat Pinjam Meminjam
Maksud dari Syarat adalah hal-hal yang harus
ada sebelum kegiatan pinjam meminjam dilaksanakan. Adapun Syarat-syarat pinjam
meminjam adalah :
a.
Syarat bagi orang yang meminjami
1). Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang
menghalangi
2). Barang yang dipinjamkan milik sendiri
ataupun barang tersebut menjadi tanggung jawabnya
b.
Syarat Bagi Orang yang meminjam
1). Mampu berbuat kebaikan atau mengambil
manfaat barang yang dipinjam
2). Mampu menjaga barang yang dipinjam dengan
baik.
c.
Syarat Barang yang dipinjam
1). Ada manfaatnya
2). Bersifat tetap, tidak berkurang atau habis
ketika diambil manfaatnya
4.
Beberapa Catatan penting dalam pinjam meminjam.
Untuk menjaga hubungan baik antara peminjam dan
yang meminjami, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
a.
Barang yang dipinjam selayaknya untuk di manfaatkan sebaik-baiknya dan
tidak melanggar aturan agama
b.
Peminjam hendaknya tidak melampaui batas dari sesuatu yang di
persyaratkan orang yang meminjamkan
c.
Peminjam merawat barang pinjamannya dengan baik, sehingga tidak rusak.
Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw. :
“Dari
Samurah, Nabi Muhammad Saw. bersabda : tanggung jawab barang yang diambil atas
yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu.” (H.R. al-Khomsah kecuali An
Nasai)
d.
Peminjam harus mengembalikan pinjamannya sesuai waktu yang telah di
sepakati
e.
Apabila peminjam dalam waktu yang sudah disepakati belum dapat
mengembalikan, maka harus memberitahukan dan meminta ijin kepada yang
meminjamkan.
f.
Hendaknya Orang yang meminjami memberi kelonggaran waktu kepada peminjam,
apabila peminjam melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
B. Utang
Piutang
Utang piutang adalah salah satu bentuk
kerjasama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Dalam pembahasan
sebelumnya, Ananda telah mempelajari tentang pinjam meminjam. Antara pinjam
meminjam dengan utang piutang objeknya sama yaitu dapat berupa barang atau
uang, perbedaanya adalah, kalau kegiatan pinjam meminjam harus mengembalikan
barang pinjaman pada batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dalam
kegiatan utang piutang jika utang tersebut dalam bentuk pembelian barang, maka
dapat menjadi milik pribadi (penghutang) secara penuh, apabila hutang telah
lunas, misalnya hutang mobil, rumah atau barang lainya.Dalam pembahasan utang
piutang, Ananda akan mendapatkan penjelasan hukum utang piutang, ketentuan
utang piutang, dan Praktik utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (Bank
Umum Syariah atau BPR syariah, Koperasi Syariah dan BMT)
1. Hukum
utang piutang
Hukum utang piutang pada asalnya adalah mubah
atau boleh, namun bisa berubah menjadi sunah, wajib, atau haram tergantung dari
latar belakang alasan yang mendasarinya. Lebih lanjut penjelasanya sebagai
berikut :
a. Mubah
atau boleh, sebagaimana hukum asal dari utang piutang
b.
Sunah, apabila orang yang berhutang dalam keadaan terpaksa. Misalnya,
utang makanan pokok demi untuk memberi makan keluarganya
c.
Wajib, apabila pemberi hutang mendapati orang yang sangat membutuhkan
bantuan, misalnya member hutangan kepada orang yang membutuhkan untuk operasi
demi kesembuhan dari suatu penyakit, sementara yang berhutang tidak ada yang
menolong
d.
Haram, apabila orang yang memberi hutang mengetahui penggunaan utang
untuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya utang untuk membeli minum minuman
keras, judi atau lainya.
Dasar hukum yang digunakan dalam al-Qur’an
surat al-Maidah ayat 2dan hadits Nabi Muhammad Saw., di bawah ini :
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
“Tidaklah seorang muslim
memberi pinjaman kepada muslim (yang lain) dua kalipinjaman kecuali seolah-olah
dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)
2.
Ketentuan utang piutang
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi
pertikaian antar warga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman
mereka tentang ketentuan utang piutang menurut Islam. Untuk menghindari
perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Hutang piutang lebih baik ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah Swt., Q.S.. Al-Baqarah :
282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Mahamengetahui segala sesuatu”
b.
Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
“Setiap hutang piutang yang
mendatangkan manfaat (bagi pemberi hutang), maka hukumnya riba”.
c.
Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan
tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Swt. akan tunaikan
untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk
menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah Swt. akan membinasakannya”.
(HR. Bukhari)
d. Tidak
berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi
baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika
tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau
semisalnya.
e. Jika
terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
hendaklah orang yang berhutang memberitahukan
kepada orang yang memberikan pinjaman. Hal ini termasuk bagian dari menunaikan
hak pemberi hutang.
f.
Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha
melunasi hutangnya sesegera mungkin apabila ia telah memiliki kemampuan untuk
mengembalikan hutangnya. Sebab orang yang menundamenunda pelunasan hutang
padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw.
bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”.
(HR. Bukhari Muslim)
g.
Memberikan penangguhan waktu kepada
orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.Allah
Swt. berfirman:
“Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah: 280).
3. Utang
piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping sebagai
lembaga komersial (mencari keuntungan), juga berperan sebagai lembaga sosial
(tidak mencari keuntungan). Bentuk peran LKS sebagai lembaga sosialnya
diantaranya Qarḍ al-Hasanyaitu melayani utang piutang tanpa mengambil bagi
hasil keuntungan.
LKS sebagai lembaga komersial melayani utang
piutang dengan akad di antaranya :
a.
Muḍarabah,yaitu kerjasama mitra usaha dan investasi
b.
Murabaḥah,yaitu jual beli dengan menyatakan harga pokok dan keuntungan
c.
Musyarakah, yaitu kerjasama modal usaha
d.
Iṡtisna’,yaitu jual beli berdasarkan pesanan
e. Rahn
(Gadai), yaitu penyerahan barang yang dilakukan oleh penghutang sebagai jaminan
atas hutangnya.
f. Dll
LKS sebagai lembaga sosial melayani utang
piutang dengan akad Qardh Al Hasan(pinjaman kebajikan). Prinsip utang piutang
dalam sitemQardh Al Hasan yakni : suatu akad hutang kepada nasabah dengan
ketentuan hanya mengembalikan pokok hutang, tanpa adanya penambahan bagi hasil
keuntungan
a.
Ketentuan umum Qarḍ al-Hasan
1). Pinjaman diberikan kepada nasabah yang
sangat memerlukan
2). Nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok
yang diterima sesuai batas waktu yang telah dipakati
3). Biaya adminitrasi dapat dibebankan kepada
nasabah
4). LKS dapat meminta jaminan/agunan apabila
dipandang perlu
5). Nasabah dapat memberikan tambahan
(sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad
6). Apabila sampai batas waktu nasabah tidak
dapat mengembalikan hutangnya dan LKS telahmemastikan ketitak mampuanya, maka
LKS dapat :pertama memperpanjan jangka waktu pengembalianya, kedua menghapus
sebagian atau seluruh kewajiban nasabah.
b.
Sumber dana Qarḍ al-Hasan:
1). bagian modal LKS
2). keuntungan LKS yang disisihkan
3). lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS
C. GADAI
1.
Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Arab disebut al-Rahn artinya
penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berhutang sebagai jamiman atas
hutang yang telah diterimanya. Hal ini dimaksudkan agar pemberi hutang
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya, apabila
peminjam tidak mampu membayar hutangnya.Sebagai contoh, A memiliki hutang
kepada B sebesar Rp. 1.000.000,- .Dengan jaminan perhiasan dengan nilai taksir
jual Rp. 2.000.000,- . Sampai batas waktu yang telah ditentukan, si A tidak dapat
melunasi hutangnya, kemudian dilakukandilelang secara syariah,dan perhiasan
tersebut terjual Rp. 1.750.000 makasi B hanya mengambil sejumlah hutang dan
kewajiban lainya, sisanya dikembalikan kepada si A.
2. Hukum
Gadai
Hukum asal gadai adalah mubah atau
diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an dan AlHadis, serta Ijma
ulama, yaitu:
a.
Al-Qur’an:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang), ……” (Q.S..
Al-Baqarah: 283) Al-Hadits:
Aisyah ra, berkata: “Rasulullah Saw. pernah
membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan
kepadanya baju besi. (HR. Bukhari Muslim)
b. Ijma’
Ulama
Para ulama sepakat membolehkan akad rahn, hal
ini tertuang dalam kitab
1). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhukarya Al
Zuhailijilid 5 hal 181,
2). Al-Mughni karyaIbnu qudamah, jilid 4 hal
367, dikatakan mengenai dalil ijma’ ,bahwa umat Islam sepakat bahwa secara
garis besar akad rahn(gadai) diperbolehkan,
3). Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Majelis Ulama
Indonesia) No. 25/DSN-MUI/III/2002
c.
Kaidah Fiqih
“Pada dasarnya segala bentuk mumalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkanya”
3. Rukun
dan Syarat Gadai
a. Rukun
gadai ada empat, yaitu:
1). Barang yang digadaikan(marhun)
2). Hutangnya (marhun bih)
3). Ucapan serah terima(Ṣigat ijab dan qabul)
4). Dua orang yang melakukan akad ar-Rahn
(‘aqidaan)
b.
Syarat gadai:
1). Syarat yang berhubungan dengan orang yang
bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki
kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd(kemampuan mengatur)
2). Syarat yang berhubungan dengan
Marhun(barang gadai) ada tiga:
a)
Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya,
baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
b)
Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang
dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c)
Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena
rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3). Syarat berhubungan dengan Marhun
bihi(hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
4.
Ketentuan Umum Dalam Gadai
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah
gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
a.
Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang
memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan
demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada
harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang
tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama
disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau
tidak dapat diperjual-belikan.
b.
Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada
dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak,
misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk
dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa
peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah
membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
c.
Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi
utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu’amalah
tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).” (Q.S.. Al-Baqarah: 283).
5.
Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk
memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang
gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik
pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak
untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam
sebagai utang oleh pemilik barang. Namun di sana ada keadaan tertentu yang
membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh
menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk
pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai
dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.
6. Biaya
Perawatan Barang Gadai
Jika barang gadai butuh biaya perawatan
misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam
As-sunnah) maka:
a. Jika
dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan
barang gadai tersebut.
b. Jika
dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang
tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.
7.
Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka
orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang
telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian
dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu
melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar
pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut
menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang
tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya
tersebut masih menanggung sisa utangnya
8.
Manfaat Gadai
Manfaat gadai (Rahn) bagi orang yang
menggadaikan (ar-Rãhin) adalah, pertamadapat memperoleh sesuatu yang diinginkan
dengan cepat.Kedua, tidak kehilangan kepemilikan barang yang digadaikannya.Manfaat
gadai (Rahn) bagi penerima gadai (Al-Murtahin) adalah menghindari kemungkinan penggadai
(ar-Rãhin) melalaikan kewajibannya. Manfaat gadai bagi kedua belah pihak
(al-‘aqidan) adalah saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya.
D. UPAH
1.
Pengertian upah
Upah dalam bahasa Arab disebut dengan Ujrah.
Upah dalam hukum agama adalah pemberian sesuatu sebagai imbalan dari jerih
payah seseorang dalam bentuk imbalan di dunia dan dalam bentuk imbalan di akhirat.
Berbeda sekali pengertian upah dalam istilah barat, yaitu Gaji biasa atau
minimum yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, oleh pengusaha kepada
pekerja hanya dalam kaitan dengan hubungan kerja, tidak mempunyai keterkaitan
erat antara upah dengan moral, dan tidak memiliki dimensi dunia dan akhirat.Upah
yang diberikan hendaknya berdasarkan tingkat kebutuhan dan taraf kesejahteraan
masyarakat setempat. Hadits Nabi Muhammad Saw. :
“Berikanlah
kepada buruh upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)Dari hadis di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama Islam itu sangat memperhatikan hak pekerja
atau buruh. Pembahasan masalah upah ini, meliputi pengertian upah, hukum upah,
rukun dan syarat upah, keutamaan membayar upah, hikmah upah. Pada masa khalifah
Umar R.a. gaji pegawai disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakat setempat.
2. Hukum
Upah
Pemberian upah hukumnya mubah, tetapi bila hal
itu sudah menyangkut hak seseorang sebagai mata pencaharian berarti wajib.
Sebagai karyawan/pegawai adalah pemegang amanah majikan/pemilik perusahaan,
maka ia wajib untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan
sebaik-baiknya.Allah Swt. Berfirman :
“Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. (Q.S. Al baqarah: 233)
Sabda Nabi Muhammad Saw. :
”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw.
pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.
Bukhari)
Upah merupakan hak pekerja yang harus
dibayarkan sesuai dengan jenis pekerjaannya. Menundanunda pembayaran upah tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam, sebab termasuk perbuatan aniaya. Nabi Muhammad
Saw. bersabda:
“Tiga
orang (tiga golongan) yang aku musuhi nanti pada hari kiamat, yaitu (1) orang
yang memberi kepadaku kemudian menarik kembali, (2) orang yang menjual orang
merdeka kemudian makan harganya (3) orang yang mengupahkan dan telah selesai,
tetapi tidak memberikan upahnya.” (HR. Bukhari)
3. Rukun
dan Syarat Upah-Mengupah
a.
Pengupah dan pihak pekerja (Mu’jirdan Musta’jir), syaratnya
1). Berakal dan mummayiz,namun tidak
disyaratkan baligh. Maka tidak dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak
yang belum mumayizdan tidak berakal
2). Ada kerelaan dari keduanya. Apabila salah
seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah
3). Cakap atau kompeten (memliki kemampuan)
b.
Ṣigat(Ijab Qabul)
Adanya kesepakatan kedua belah pihak antara
pengupah dan pekerja (kontrak).
c. Upah
atau Imbalan
Yaitu uang atau lainnya yang dibayarkan sebagai
pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk
mengerjakan sesuatu. Pembayaran upah ini boleh berupa uang dan boleh berupa
benda, dan diisyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, sesuai dengan
perjanjian.
d.
Adanya Kemanfaatan
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek
kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti mengerjakan pekerjaan proyek,
membajak Saw.ah dan sebagainya. Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya
manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar
terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan
ataupun pekerjaan yang akan dilakukan
4.
Keutamaan Membayar Upah
Secara umum, pemberian/penyerahan upah
dilakukan seketika pekerjaan itu selesai. Sama halnya dengan jual beli yang
pembayarannya pada waktu itu juga, tetapi pada waktu membuat surat perjanjian
boleh dibicarakan dan diputuskan untuk mendahulukan pembayaran upah atau mengakhirkannya.
Jadi pembayaran upah itu disesuaikan dengan bunyi surat perjanjian pada saat akan
melaksanakan akad upah mengupah.
Namun demikian, memberikan upah lebih dahulu
adalah lebih baik, dalam rangka membina saling pengertian percaya mempercayai.
Lebih-lebih apabila upah mengupah itu antara majikan dan karyawan yang pada
umumnya sangat memerlukan uang untuk kebutuhan biaya makan keluarga dan dirinya
sehari-hari. Yang paling penting adalah agar kedua belah pihak mematuhi
perjanjian yang telah disetujui dan ditanda tangani bersama. Karyawan atau
buruh hendaknya mematuhi ketentuan dalam perjanjian, baik perjanjian itu
tertulis atau perjanjian lisan. Majikan wajib pula memberikan upah sebagaimana
yang telah ditentukan.
Hadits Nabi Muhammad Saw. :
“Berikanlah kepada buruh
upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
5.
Hikmah Disyariatkan Upah
Tujuan dibolehkan ujrah pada dasarnya adalah
untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena
usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt.
Adapun hikmah diadakannya ujrah antara lain:
a.
Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja
sama antaramu’jirdan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati
mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi
jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi
maka musta’jirtidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.Dengan
transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang
ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila
masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi
kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
b.
Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah
memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan
tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jirmaka
kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Allah Swt. berfirman:
”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. (al-Baqarah: 233)
c.
Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya
tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik
yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka
ujrahmerupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
d.
Menolak kemungkaran
Di antara tujuan ideal berusaha adalah dapat
menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.
Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar