A. JUAL
BELI
Praktik jual beli sudah dilakukan sejak manusia
ada hanya saja caranya yang berbeda-beda. Jaman dahulu Praktik jual beli dengan
tukar-menukar barang atau barter, kemudian jual beli berkembang dengan menggunakan
alat tukar berupa uang. Dalam perkembanganya terdapat transaksi jual beli yang
tidak menggunakan uang secara nyata tetapi menggunakan berbagai alat sebagai
pengganti uang, seperti kartu kredit, ATM dll.
1.
Pengertian Jual Beli (Bai’)
Arti jual beli secara bahasa adalah menukar
sesuatau dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar
harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum
Islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam, Pertama;harta
yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil, dll. Kedua harta yang berupa
manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa listrik dll.
2. Hukum
Jual Beli
Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut
a. Dasar
al-Qur’an
Hukum jual beli pada dasarnya adalah halal atau
boleh, berdasarkan :Q.S. al-Baqarah ayat : 275
Orang-orang yang makan (mengambil) ribatidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya…(Q.S. al-Baqarah : 275)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.………. (Q.S. an-Nisa
: 29)
b. Al
Hadits :
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi Muhammad Saw.
. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab,
‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur’.”(HR.
Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)Maksud mabrur dalam hadits
di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan
orang lain.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka
hukum dari jual beli adalah halal atau boleh
3.
Syarat dan Rukun Jual Beli
a.
Syarat jual beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau
dipenuhi sebelum transaksi jual beli
1). Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang
bertransaksi (akid)adalah
a)
Baligh
b)
Berakal
c)
Ruṣdu(memiliki kemampuan untuk bisa melaksanakan urusan agama dan
mengelola
keuangan dengan baik)
d) Suka
sama suka, yakni atas kehendak sendiri, tanpa ada paksaan dari orang lain :
Rasulullah Saw. bersabda:
“Nabi
Muhammad Saw. bersabda sesungguhnya jual beli itu sah, apabila dilakukan
atas
dasar suka sama suka” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majjah)
2).
Syarat Barang yang diperjualbelikan atau Objek jual beli (Ma’qud alaih)
a) Suci
b)
Bermanfaat
c) Dalam
kekuasaaan penjual dan pembeli
d) Dapat
diserah terimakan
e)
Barangnya, kadar dan sifat harus diketahui oleh penjual dan pembeli
3).
Syarat ucapan serah terima (ijab dan kabul)
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata
penyerahan dan penerimaan atau dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur,
kuitansi atau nota dan lain sebagainya.Ijab adalah ucapan penjual kepada
pembeli sedangkan kabul adalah ucapan penerimaan dari pembeli. Praktik ijab
kabul pada saat ini dapat juga dilakukan dengan bentuk tulisan, seperti
menggunakan kuitansi,
faktur dan lain sebagainya.
4).
Syarat alat transaksi jual beli
Alat transaksi jual beli haruslah alat yang
bernilai dan diakui secara umum penggunannya.
b. Rukun
jual beli
Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan
terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli, Rukun
jual beli ada 3
1). Aqid(pihak yang bertransaksi)
2). Ma’qudalaih mencakup barang yang dijual dan
harganya
3). Sighat ijab kabul (ucapan serah terima dari
penjual dan pembeli)
4). Ijab dari pihak penjual, kabul dari pihak
pembeli
Sebagaimana
yang diterangkan dalam kitab Hasyiah al Baijuri, juz I hal. 338
Rukun
jual beli ada tiga : Akid (pihak yang bertransaksi), Ma’qud alaih (barang yang
dijual belikan) dan ucapan ijab Kabul.
4. Macam-macam jual beli
1. Bai’
ṣohihah, Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat
dan rukunya
2. Bai’
fasidah, yaitu akad jual beli yang tidak memenuhi salah
satu atau seluruh syarat dan rukunya
a. Macam-macam bai’ṣohihah
1). Jual beli barang yang terlihat secara jelas
dan ada ditempat terjadinya transaksi
2). Jual beli barang pesanan yang, lazim
dikenal dengan istilah dengan akad salam
3). Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau
tidak(bai’ sharf)
4). Jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan ditambah keuntungan (bai’ Murabahah)
5). Jual beli barang secara kerja sama atau serikat
(bai’ Isyrak)
6). Jual beli barang dengan cara penjual
memberi diskon kepada pembeli(bai’ muhaṭah)
7). Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa
ada keuntungan (bai’ tauliyah)
8). Jual beli hewan dengan hewan (bai’
muqabaḍah)
9). Jual beli barang dengan syarat khiyar,
yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, untuk
mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada kecocokan didalam
masa yang telah disepakati oleh keduanya.
10). Jual beli barang dengan syarat tidak ada
cacat(bai’ bisyarti al baro’ah min al ‘aib)
b. Macam-macam bai’ fasidah (terlarang)
Jual beli yang terlarang artinya jual beli yang
tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli yaitu:
1). Jual beli sistem Ijon
Maksud jual beli system ijon adalah jual beli
hasil tanaman yang masih belum nyata buahnya, belum ada isinya, belum ada
buahnya, seperti jual beli padi masih muda, jual beli mangga masih berujud
bunga. Semua itu kemungkinan bisa rusak masih besar, yang akan dapat merugikan
kedua belah pihak. Rasulullah Saw. bersabda:
“Dari
Ibnu Umar Nabi
Muhammad Saw. telah
melarang jual beli
buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu (pantas untuk diambil dan
dipetik buahnya)”,
(HR. Bukhori
dan Muslim)
2). Jual beli barang haram
Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak
sah dan dilarang serta karena haram hukumnya. Seperti jual beli minuman keras
(khamr),bangkai, darah, daging babi, patung berhala dan sebagainya.
3). Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma
tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak dapat diterima wujudnya. Rasulullah
Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw. telah melarang jual beli
kelebihan air (sperma)” (HR. Muslim)
4). Jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan induknya
Hal ini dilarang karena belum jelas
kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang jual beli
anak binatang yang masih dalam kandungan induknya”(HR. Bukhori dan Muslim)
5). Jual beli barang yang belum dimiliki
Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum
diterima dan masih berada di tangan penjual pertama. Rasulullah Saw. bersabda:
“Nabi
Muhammad Saw. telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja
engkau beli, sehingga engkau menerima (memegang) barang itu “(HR. Ahmad dan
Baihaqi).
6). Jual beli barang yang belum jelas
Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya,
Sabda Nabi Muhammad Saw. dari Ibnu Umar Ra. :
“Nabi Muhammad
Saw. telah melarang
menjual buah-buah yang
belum tampak manfaatnya” (HR.
Muttafaq Alaih).
5. Jual beli yang Sah Hukumnya, tetapi Dilarang
Agama
Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang
oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat dari perbuatan tersebut,
yaitu:
a. Jual
beli pada saat Khutbah dan shalat jum’at
Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat
khutbah dan shalat jum’at ini tentu bagi lakilaki muslim, karena pada waktu itu
setiap muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum’at. Allah Swt. berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila
diserukan untuk menunaikan shalat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat
Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui” (Q.S. al-Jum’ah: 9)
b. Jual
beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar
Jual beli seperti ini, penjual tidak mengetahui
harga pasar yang sebenarnya, dengan tujuan
barang akan dibeli dengan harga yang
serendah-rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga
setinggi-tingginya. Rasulullah Saw. bersabda:
“janganlah
kamu menghambat orang-orang yang akan ke pasar” (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Jual
beli dengan niat menimbun barang
Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu
dilarang, karena pada saat orang banyak membutuhkan justru ia menimbun dan akan
dijual dengan harga setinggi-tingginya pada saat barang-barang yang ia timbun
langka. Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah
Saw. telah bersabda tidaklah akan menimbun barang kecuali orang-orang yang durhaka”
(HR. Muslim)
d. Jual
beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan
Contoh jual beli mengurangi ukuran dan
timbangan adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual minyak tanah dengan
mengatakan satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg,
ternyata setelah ditimbang hanya 8 ons dan sebagainya.
e. Jual
beli dengan cara mengecoh
Jual beli ini termasuk menipu sehingga
dilarang, misalnya penjual mangga meletakkan mangga yang bagus-bagus di atas
onggokan, sedangkan yang jelek-jelek ditempatkan di bawah onggokan. Sabda Nabi
Muhammad Saw. :
“Nabi melarang memperjual belikan barang yang
mengandung tipuan”(HR. Muslim).
f. Jual
beli barang yang masih dalam tawaran orang lain
Apabila masih terjadi tawar menawar antara
penjual dan pembeli hendaknya penjual tidak menjual kepada orang lain,
sebaliknya apabila seseorang akan membeli sesuatu barang maka hendaknya tidak
ikut membeli sesuatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, kecuali sudah
tidak ada kepastian dari orang tersebut atau sudah membatalkan jual belinya.
Sabda Nabi Muhammad Saw. :
“Janganlah
seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain” (Muttafaq Alaih).
B. QIRAḌ
1.
Pengertian Qiraḍ
Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 37
dijelaskan : Qiraḍ adalah
penyerahan harta dari
Shahib al mal
(pemilik dana) kepada
pengelola dana, sebagai modal
usaha. Keuntungan nya di bagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang
disepakati.Qiraḍ dalam perbankan Syari’ah sering disebut dengan istilah
muḍarabah, yakni bentuk pinjaman modal tanpa bunga dengan perjanjian bagi
hasil. Modal 100% dari pemilik dana/ Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dan
pengelola usahanya adalah nasabah (Peminjam).Dari penjelasan
di atas dapat
di ambil kesimpulan,
bahwa Qiraḍ/ Muḍarabah
adalah : Usaha Bersama antara pemilik modal
(Perseorangan atau LKS : BMT, BPR Syari’ah, dll) dengan orang yang menjalankan
usaha dengan system bagi hasil, dengan syarat-syarat tertentu.
2. Hukum
Qiraḍ
Hukum Qiraḍ /Muḍarabah adalah boleh atau dibolehkan.
Qiraḍ mengandung unsur saling tolong menolong, antara pemilik modal
(Perseorangan / LKS ) dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana atau modal.
Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional MUI mengeluarkan Fatwa tertanggal NO :
07/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Muḍarabah (Qiraḍ ). Di dalam Fatwa
tersebut dijelaskan tentang dasar-dasar keputusan dan
persyaratan-persyaratannya.Dalam Hadis Nabi riwayat Imam Ṭabrani :
“Abbas
bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai Muḍarabah, ia mensyaratkan
kepada mudharibnya agar tidak melewati lautan dan menuruni lembah, dan tidak
membeli hewan ternak, Jika persyaratan itu di langgar, Ia (mudharib) harus menaggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu di dengar Rasulullah
Saw., beliau membolehkannya” (HR. Ṭabrani dari Ibnu Abbas)
Ada kaidah Fiqih menyebutkan :
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh di lakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
3. Rukun
dan Syarat Qiraḍ
a. Rukun Qiraḍ ada
enam, seperti yang di sebutkan dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hlm. 22
Rukun Qiraḍ ada 6 :
1). Malik / Pemilik modal
2). Amil / Pengelola
3). Mal / Modal / dana
4). ‘Amal / usaha
5). Ribh / Laba / Keuntungan
6). Ṣigatijab kabul / ucapan serah terima
(akad)
b.
Syarat Qiraḍ
1). Pemilik dan pengelola modal sudah dewasa
dan sehat akal dan ada kerelaan (tidak boleh ada paksaan ). Pengelola modal
tidak boleh menyalahi hukum
2). Modal harus di ketahui jumlah dan jenisnya.
3). Kegiatan usaha pengelola dana (nasabah)
tidak ada campur tangan pemilik dana tapi berhak melakukan pengawasan.
4). Pembagian keuntungan harus dinyatakan di
awal dan di catat dalam perjanjian (akad)
5). Akad Ijab kabul harus dinyatakan oleh kedua
pihak untuk menunjukan tujuan kerjasama, dan sebaiknya tertulis
4. Jenis
Qiraḍ
Secara garis besar Qiraḍ dapat dibagi menjadi 2
jenis :
1.
Muḍarabah Muṭlaqah, adalah bentuk
kerjasama antara pemilik dana dan pengelola dana, yang cakupannya sangat luas,
dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, lokasi, waktu, bentuk pengelolaan, dan
mitra kerjanya.
2.
Muḍarabah Muqayyadah, adalah bentuk kerjasama antara kedua belah pihak,
dan pengelolanya di batasi oleh beberapa persyaratan. (kebalikan dari Muḍarabah
Muṭlaqah)
C. RIBA
1.
Pengertian Riba
Riba menurut Bahasa artinya lebih atau
bertambah. Adapun Riba menurut Syara’ adalah tambahan pembayaran tanpa ada
ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang
mengadakan transaksi.
Contoh transaksi riba:
Anik membutuhkan modal Rp 1.000.000 (Satu Juta
Rupiah)untuk berjualan roti. Anik meminjam uang sebagai modal berjualan roti
kepada Yesi. Yesi bersedia memberikan pinjaman kepada Anik Rp 1.000.000 (satu
juta rupiah), asalkan si Anik nantinya mengembalikan pinjamannya sejumlah Rp
1.500.000 (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Yesi tidak mau tahu apakah usaha
itu nantinya untung atau rugi. Praktik transaksi yang dilakukan Anik dan Yesi
adalah riba, sebab (1) memberatkan Anik, karena harus mengembalikan pinjaman
Rp. 1.500.000 (tambah 50%). (2) tambahan sebesar Rp 500.000,- itu atas kemauan
sebelah pihak, yaitu Yesi selaku pemberi pinjaman.
Contoh transaksi yang tidak mengandung riba:
Ahmad merintis peternakan ayam petelur. Modal
yang dibutuhkan Ahmad Rp 2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu
Rupiah).Selanjutnya Ahmad meminjam BPR Syari’ah Meru. Dalam akad perjanjian
disepakati nisbah bagi hasil dari keuntungan 80 : 20 (80 % untuk pengelola dan
20 % untuk pemilik modal). Setelah
usaha berjalan, Ahmad mendapat keuntungan bersih sebesar Rp 200.000/bulan. Jadi
dalam setahun Ahmad mendapat keuntungan Rp. 200.000 x 12 bulan = Rp
2.400.000,-.Berdasar kesepakan nisbah bagi hasil = 80 : 20 maka didapatkan
hasil sebagai berikut :
·
Pengelola (Ahmad ) memperoleh : 80 % x Rp. 2.400.000 = Rp. 1.920.000
·
Pemilik modal (BPRS Meru) memperoleh : 20 % x Rp. 2.400.000 = Rp.
480.000Jumlah = Rp. 2.400.000
Dari hasil perhitungan di atas maka Ahmad harus
mengembalikan Rp 2.980.000 terdiri dari pinjaman pokok Rp 2.500.000 dan nisbah
bagi hasil untuk BPRS Meru Rp. 480.000.
Dari cerita singkat di atas dapat diambil kesimpulan : fikih
siswa kls 9__revisi.indd 36 Uang tambahan yang harus di setor ke BPRS Meru Rp.
480.000, adalah bukan riba, sebab perhitungan keuntungan tersebut sesuai
kesepakatan antara kedua belah pihak (Ahmad dan BPRS) dan ada unsur saling
menguntungkan/tidak ada yang dirugikan.
2. Hukum
Riba
Hukum riba dalam hukum Islam secara tegas dinyatakan
haram. Berdasarkan dalil tersebut di bawah ini :
a. Dali
Al-Qur’an
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S.
Al-Baqarah: 275)
Dalam kitab Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkamkarya
Muhammad Ali al-Ṣabuni dijelaskan,bahwa bagi pemakan riba
kelak di hari kiamat digambarkan akan sempoyongan jatuh bangun seperti orang
kesurupan (gila), karena perut mereka yang besar dan berat, sehingga semua
orang akan mengenalnya sebagai orang yang ketika di dunia memakan riba.
b. Dalil
Hadis
. . . “Dari Jabir Ra. ia berkata, ‘Rasulullah
Saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya
(orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang
menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.”
(H.R. Muslim)
a. Ijma’
para ulama
Ulama berpendapat bahwa, orang yang memakan
riba kelak di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka,
dismakan dengan orang kafir, hingga mendapat laknat dari Allah dan Rasul yang
kekal, di duniapun orang yang makan riba kehidupanya tercela, penuh kemarahan,
hilang rasa keadilanya, dan selalu mendapat doa buruk dari orang-orang yang
merasa dizalimi. Hal itu terjadi disebabkan karena hilangnya kebaikan dan
barokah rizki, oleh karena itu, betapa buruk maksiat riba, betapa besar dosa riba
dan betapa kejinya akibat riba sehingga Allah Swt. sangat mengutuk dan
mengharamkan riba.Riba dengan segala macamnya diharamkan berdasarkan dalil-dalil
yang tegas di atas. Sedikit atau banyak, riba hukumnya sama yaitu haram.
3.
Macam-macam riba
Riba yang diharamkan Islam ada dua macam, yaitu
:
a. Riba
Faḍli
Riba faḍli yaitu tukar menukar dua buah barang
yang sama jenisnya, dengan mensyaratkan suatu tambahan sehingga terdapat pihak
yang dirugikan, contoh 1 Kg beras ditukar dengan 2 kg beras, 1 liter madu
ditukar dengan 2 liter madu. Perkara yang dilarang adalah kelebihan (perbedaannya)
ukuran/takaran tersebut. Nabi Muhammad Saw. bersabda :
“Dari
Ubaidah bin Ash-Shamit ra, Nabi Muhammad Saw. telah bersabda: emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, hendaknya sama banyaknya, tunai dan timbang terima,
maka apabila berlainan jenisnya ini, maka boleh kamu menjual sekehendakmu,
asalkan dengan tunai.” (HR.Muslim dan Ahmad)
Supaya tukar menukar ini tidak termasuk riba
maka harus ada 3 macam syarat yaitu:
1). Tukar menukar barang tersebut harus sama.
2). Timbangan atau takarannya harus sama.
3). Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba
Qarḍi
Riba qarḍi yaitu dalam utang piutang dengan
syarat ada keuntungan atas bunga bagi yang mengutangi. Contoh, utang Rp. 90.000
harus dikembalikan Rp. 95.000 jadi ada lebihnya Rp. 5.000.
c. Riba
Yad
Riba Yad yaitu bila meninggalkan tempat akad
jual beli sebelum serah terima. Contoh, seseorang membeli 1 kilo beras setelah
uang dibayar maka si penjual pergi sedangkan beras jualan dalam karung belum
ditimbang ckuptidaknya. Jadi jual beli itu belum benar -benar serah terima.
d. Riba
Nasiah
Riba nasiah yaitu riba yang terjadi karena
adanya tambahan pembayaran hutang. Cotohnya seorang menghutangi uang dalam
jumlah tertentu kepada orang lain dengan batas waktu tertentu, misalnya1 bulan
atau 1 tahun. Apabila sampai batas waktu tersebut penghutang belum mampu
mengembalikan kemudian pemberi hutang member syarat bunga sebagai imbalan dari tambahan
batas waktu yang telah diberikan.
4.
Bahaya riba
a. Bagi
Jiwa manusia
a. Riba
dapat menumbuhkan sifat egois, sehingga pemakan riba tidak peduli terhadap
orang lain namun mementingkan dirinya sendiri.
b. Riba
juga dapat menghilangkan perasaan cinta kebajikan dan perasaan sosial.
c.
Pemakan riba akan selalu haus untuk mengumpulkan harta meskipun dengan
cara memeras darah orang lain
b.
Bahaya bagi masyarakat
d. Riba
dapat melhirkan permusuhan dilingkungan warga masyarakat
e. Riba
menghancurkan seluruh bentuk kasih sayang, persaudaraan dan perbuatan-perbuatan
baik dalam diri manusia
f. Riba
dapat menaburkan benih-benih hasut (provokator)dan kebencian dalam hati
manusia, dan menghancurkan hubungan persaudaraan
c. Bahayanya
terhadap ekonomi
a. Dalam
pandangan ekonomi, riba dapat membelah manusia dalam 2 tingakatan, yaitu :
1). Tingkat elit, yang bergelimang dalam
kemewahan dan kesenangan lewat keringat orang lain
2). Tingkat miskin, yang hidup dalam
penderitaan dan kekurangan
b. Dari
pembagian kelas di atas akan memunculkan kesenjangan sosial dan tingkat
kesejahteraan dimana kekayaan hanya bertumpuk di tangan beberapa orang saja,
hal inilah menjadi pangkal terjadinya musibah yang akan menimpa suatu
masyarakat atau bangsa.
5.
Menghindari Kegiatan Riba
Berikut syarat-syarat jual beli agar tidak
menjadi riba.
1.
Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Sama
jumlah timbangan dan banyaknya
b.
Dilakukan secara tunai
c. Akad
(ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2.
Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a.
Dilakukan secara tunai
b. Akad
(ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
6.
Hikmah diharamkannya riba
1.
Terhindar dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan
miliknya
2. Mencegah permusuhan dan menumbuhkan semangat
kerja sama atau saling menolong sesama manusia.
3.
Mencegah munculnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras dan
penimbun harta di tangan satu pihak.
4.
Menghindari dari perbuatan aniaya karena memeras kaum yang lemah, karena
riba merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak
menindas pihak yang lain.
5.
Mengarahkan kaum muslimin mengembangkan hartanya dalam mata pencarian
yang bebas dari unsur penipuan
6.
Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya,
karena orang yang memakan riba adalah zalim, dan kelak akan binasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar